Sistem otonomi daerah di Indonesia menerapkan pembagian kekuasaan pemerintahan yang dibagi berdasarkan urusan pemerintahan. Pemerintah pusat berwenang atas enam urusan pemerintahan absolut, yang terdiri dari politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, kebijakan fiskal dan moneter nasional, serta agama. Sementara itu, urusan pemerintahan lainnya dibagi antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, serta pemerintah kabupaten/kota secara bersama-sama (konkuren) sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Urusan pemerintahan yang dibagi kepada pemerintah daerah (pemda) terdiri dari urusan pemerintahan wajib dan pilihan. Urusan wajib terkait dengan jasa pelayanan dasar meliputi fungsi pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, dan penataan ruang, dan lain-lain. Sementara itu, urusan wajib yang tidak terkait dengan jasa pelayanan dasar meliputi fungsi tenaga kerja, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, pangan, dan lain-lain. Adapun urusan pilihan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah sesuai dengan potensi yang dimiliki meliputi fungsi kelautan dan perikanan, pariwisata, pertanian, dan lain-lain.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, alokasi anggaran belanja daerah diprioritaskan untuk memenuhi urusan wajib, terutama untuk mendanai urusan yang besarannya telah diatur dalam peraturan perundangundangan, antara lain untuk belanja wajib fungsi pendidikan dan fungsi kesehatan. Pemda harus mengalokasikan anggaran minimal sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) setiap tahunnya.
Belanja Wajib Pendidikan
Alokasi anggaran belanja pendidikan diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. UU tersebut mengatur kewajiban pengalokasian dana pendidikan minimal sebesar 20% dari anggaran belanja daerah. Pemenuhan pendanaan pendidikan tersebut dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan kemampuan keuangan daerah.
Anggaran tersebut utamanya dialokasikan kepada Dinas Pendidikan, yang terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja modal, dan belanja transfer ke pemda lainnya. Anggaran tersebut juga dapat dialokasikan kepada Organisasi Perangkat Daerah (OPD) lainnya yang menyelenggarakan kegiatan yang menunjang fungsi pendidikan.
Belanja Wajib Kesehatan
Alokasi anggaran belanja kesehatan diatur dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. UU tersebut mengatur kewajiban pengalokasian anggaran kesehatan sebesar minimal 10% dari anggaran belanja daerah di luar gaji pegawai. Pemenuhan pendanaaan kesehatan tersebut dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan kemampuan daerah. Pemda yang sudah mengalokasikan lebih dari 10% tidak boleh menurunkan alokasi anggarannya.
Anggaran tersebut utamanya dialokasikan kepada Dinas Kesehatan maupun Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) yang terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja modal, dan belanja transfer ke pemda lainnya. Anggaran tersebut juga dapat dialokasikan kepada OPD lainnya yang menyelenggarakan kegiatan yang menunjang fungsi kesehatan masyarakat.
Kepatuhan Alokasi Belanja Wajib
Evaluasi kepatuhan pemda terhadap penerapan alokasi anggaran belanja wajib diselenggarakan pada saat evaluasi Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) APBD. Bagi pemerintah provinsi, evaluasi Raperda APBD dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Adapun bagi pemerintah kabupaten/kota, evaluasi Raperda APBD dilakukan oleh Gubernur.
Berdasarkan hasil evaluasi Mendagri/Gubernur, APBD yang belum sesuai dengan ketentuan dapat dikembalikan kepada pemda pengusul untuk dilakukan penyempurnaan. Mendagri/Gubernur dapat membatalkan APBD pemda yang tidak menindaklanjuti hasil evaluasi, yang mengakibatkan penetapan APBD dilakukan melalui peraturan kepala daerah dengan pagu maksimal sebesar APBD tahun sebelumnya.
Jika pemda tidak memenuhi alokasi belanja wajib sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, Menteri Keuangan (Menkeu) dapat memberikan sanksi berupa penundaan dan/atau pemotongan penyaluran Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil yang tidak ditentukan penggunaannya. Sebelum memberikan sanksi, Menkeu terlebih dahulu berkoordinasi dengan Mendagri.
Sumber: Diolah dari peraturan perundang-undangan.
Pengaruhnya terhadap Fleksibilitas Anggaran
Analisis fleksibilitas anggaran yang dilakukan PEFINDO menggambarkan kemampuan keuangan pemda dalam menghadapi kondisi tekanan tertentu, antara lain pelemahan ekonomi, perubahan sistem pemerintahan, atau pembayaran pokok dan bunga pinjaman daerah. Anggaran yang fleksibel mencerminkan kemampuan pemda dalam menyesuaikan pos-pos pendapatan dan belanjanya agar tetap relevan dalam kondisi tersebut.
Salah satu faktor yang kami analisis adalah potensi batasan atas fleksibilitas belanja, yang utamanya tercermin dalam belanja wajib daerah fungsi pendidikan (minimal 20%) dan fungsi kesehatan (minimal 10%). Secara umum, hal ini mengakibatkan pemda hanya bisa mengalokasikan maksimal 70% dari anggarannya untuk menjalankan urusan pemerintahan lainnya, baik urusan wajib maupun urusan pilihan.
Analisis spesifik per pemda diperlukan terutama terkait pemda yang mengalokasikan anggaran jauh melebihi ketentuan minimal. Kami perlu melihat efek pemenuhan mandat tersebut terhadap fleksibilitas anggaran pemda secara keseluruhan dan pengaruhnya terhadap kemampuan pemda dalam memenuhi kewajiban keuangannya. (MTP/NIN/VWI)
Catatan:
Artikel ini pertama kali diterbitkan pada Newsletter PEFINDO edisi Januari 2020. Newsletter dapat diakses di link [PEF-Newsletter]. Pilihan bahasa, baik Bahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris dapat dipilih di pojok kanan atas pada laman tersebut.

Be First to Comment