Skip to content

Menghadapi Pandemi Sebelum Menjadi: Perspektif Organisasi (1)

Last updated on 30 March, 2020

Pandemi seharusnya ditanggapi dengan sangat serius oleh pemerintah bahkan semenjak endemi nya masih berupa kabar burung. Menurut saya, dalam konteks organisasi pemerintahan, Kementerian Kesehatan wajib memiliki tim intelijen kecil yang sigap serta penuh kecurigaan dan kesiapsiagaan untuk selalu mengevaluasi kondisi kesehatan dunia dan kemungkinan adanya penyakit menular berbahaya yang dapat menjadi wabah di Indonesia.

Kondisi saat ini:
Kementerian Kesehatan > Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (E1), dengan subentitas berikut:

  1. Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan.
  2. Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung.
  3. Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik.
  4. Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular.
  5. Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan NAPZA.

Sumber: http://p2p.kemkes.go.id/ (diakses 29 Maret 2020).

Melihat kondisi saat ini, jelas saja pemerintah tidak siap dengan kondisi pandemi Covid-19.  Ditjen P2P melalui Direktorat Surveilans dan Karantina (E2) jelas sudah gagal dalam melakukan surveilans. Hal ini terlihat dari Menteri Kesehatan dan pejabat tinggi lainnya yang cenderung menggampangkan endemi wabah ini saat awal-awal berlangsungnya di Tiongkok.

Selain itu, penyatuan antara fungsi surveilans dan karantina menurut saya kurang tepat. Penyatuan keduanya mungkin relevan dalam konteks penyakit musiman yang tidak terjadi di luar negeri namun dapat menularkan Indonesia, dengan skala penularan yang kecil dan/atau skala bahaya yang rendah. Misal, fungsi surveilans dan karantina di bandara yang saat ini sudah tersedia di setiap bandara internasional, namun dengan skala yang sangat kecil (mungkin hanya cukup untuk menampung 2 orang penderita dari LN yang akan masuk ke Indonesia).

Namun jika kita melihat pandemi, akan lebih tepat jika fungsi surveilans dan karantina dipisahkan. Fungsi surveilans lebih tepat dibentuk sebagai unit kecil yang taktis, sementara fungsi karantina lebih tepat dibentuk sebagai unit masif yang menyeluruh. Skala masifnya dapat saya gambarkan sebagai berikut: tersedia di seluruh RSUD dan di seluruh tempat umum pintu masuk NKRI (bandara, pelabuhan, PLBN, dll).

Fungsi surveilans akan lebih tepat berada langsung di bawah Menteri Kesehatan (Eselon 1). Dengan tim kecil, mereka harus berkoordinasi baik dengan WHO, Kementerian Luar Negeri, Badan Intelejen Negara, dan pihak lainnya demi bisa mengendus potensi bahaya wabah yang dapat menjangkiti bangsa ini. Selain itu, unit ini juga tentu perlu mengendus potensi bahaya wabah yang berasal dari dalam negeri. Dalam UU yang mengatur organisasi Kementerian Kesehatan, perlu juga diatur bahwa E1 Surveilans ini dapat memberikan early warning system kepada Presiden secara langsung.

Adapun fungsi karantina juga sebaiknya berada langsung di bawah Menteri kesehatan (E1). E1 Karantina ini akan memiliki balai-balai karantina terstandar WHO di setiap RS pemerintah, baik RSUPN maupun RSUD, begitupula pos-pos karantina di setiap pintu masuk NKRI. Unit ini akan memiliki pegawai yang masif yang memiliki kompetensi khusus dalam karantina. Unit ini juga didukung oleh pergudangan APD dan logistik lainnya yang diperlukan dalam menjalankan karantina. Unit ini juga wajib memiliki E2 Pusat Karantina yang digunakan sebagai laboratorium penelitian penyakit pandemi/endemi. Dalam kondisi normal (non-pandemi/endemi), E1 Karantina mengurus penyakit menular lainnya yang diperlukan karantina secara normal (misal, DBD, malaria, tbc, dll).

Dalam kondisi luar biasa seperti pandemi Covid-19 ini, Presiden seharusnya menetapkan lembaga baru yang memiliki kewenangan luar biasa untuk menangani daily operation penanggulangan pandemi. Penunjukan juru bicara tentu saja tidak cukup, begitupula menunjuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai penanggung jawab gugus tugas yang sebenarnya juga masih agak gagap dalam pencegahan (karena terbiasa menanggulangi bencana yang sudah ada korban jiwanya).

Presiden perlu menunjuk badan setara menteri yang dapat menerbitkan peraturan dan SOP yang dapat segera diterbitkan dan diaplikasikan oleh petugas lapangan dalam hitungan hari (bahkan jam). Badan setara menteri ini, anggap saja Badan Penanggulangan Pandemi Covid (BPPC) dapat menggunakan model seperti Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias. Lembaga ini merupakan lembaga superpower yang bertindak selaku pembuat kebijakan sekaligus pelaksana lapangan, dengan pengecualian pertanggungjawaban yang memudahkan pekerjaan (misal, simplifikasi pengadaan barang/jasa, simplifikasi pertanggungjawaban keuangan, dll). Kelak, seperti BRR, BPPC pun akan dibubarkan jika pandemi Covid telah berlalu, dan rencana mitigasi ke depannya telah dibuat dengan terukur.

Usulan saya:

  1. Bubarkan Direktorat Surveilans dan Karantina (E2).
  2. Dirikan E1 Surveilans yang bertanggung jawab langsung ke Menteri Kesehatan dan dapat memberikan akses early warning ke Presiden.
  3. Dirikan E1 Karantina, yang memiliki unit kerja masif di seluruh daerah dan tempat strategis. Dirikan pula E2 Pusat Karantina sebagai laboratorium penelitian.
  4. Dalam kondisi normal, E1 Karantina dan unit kerja di bawahnya dapat digunakan sebagai balai karantina penyakit menular yang sudah umum terjadi.
  5. Dalam kondisi luar biasa/darurat/bahaya nasional, Presiden mendirikan BPPC (mengacu pada model BRR Aceh-Nias) sebagai lembaga superpower yang bertindak selaku pembuat kebijakan sekaligus pelaksana lapangan, dengan simplifikasi peraturan tentang pengadaan dan pertanggungjawaban. Kelak, setelah pandemi selesai, lembaga ini dapat dibubarkan.
Published inHealthcare

Be First to Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *